Undangan Biru

Foto dibuat dengan bantuan aplikasi canva

“Cih, lebai,” batinku menggerutu. Mas Gava datang dan langsung duduk di sampingku sedangkan Bapak dan Ibu masuk ke rumah melalui pintu samping. Merasa tidak nyaman, Purnomo berdiri dan pamit, “Aku pulang dulu ya, sudah siang, mau jemput Ibu.”

“Iya, hati-hati Pur, salam buat Mas Darman dan Ibu.” Aku menunjuk kunci motor yang masih tergeletak di atas meja dan tanpa sengaja melirik Mas Gava. Dia sibuk sendiri dengan gawainya, bahkan menjawab sapaan Purnomo dengan berdeham.

Purnomo mengambil kunci motor dan beranjak pergi, “Yuk Pramesti. Mari Pak Dokter.”

“Hem,” jawab Mas Gava tanpa menoleh sedikit pun.

Setelah Purnomo pulang aku pun segera masuk rumah, tanpa menghiraukan rengekan Mas Gava yang tiba-tiba bertingkah layaknya anak kecil--merajuk tanpa sebab.

Ketika semua istirahat siang, aku masuk gudang dengan kunci yang berhasil aku temukan dari kamar utama. Aku penasaran, kemana perginya Mas Daru dan apa sebenarnya yang terjadi saat aku koma? Kenapa bukan dia yang menikah denganku dan berganti dengan Mas Gava?

Bahkan sejak keluar dari rumah sakit hingga kini, tidak pernah terdengar kabar Mas Daru apalagi bertemu. Menghilang bagai ditelan bumi. Padahal durasi hubungan kami tidak singkat. Kami sudah menjalin hubungan dengan durasi tiga tahun.

Bau pengap menyambut kala membuka gudang. Semua barang tertata rapi, buku-buku saat kuliah, album foto, kotak musik, dan beberapa kardus yang tertumpuk di sudut ruangan. Sebuah kardus yang terbuka di bawah rak sepatu menarik perhatianku. Kutarik kardus tersebut, membuat sebagian isinya jatuh. Sebuah buku harian, surat, dan undangan berwarna biru.

Dadaku sesak kala membaca nama yang tertera dalam undangan tersebut. Handaru Aryasuta dan Nadira Amalia. Kenapa Nadira? Dia tidak hanya teman sekelas, namun juga teman satu kamar indekos saat kuliah, bahkan dia juga bersamaku saat kecelakaan itu terjadi. Apakah ini juga yang menyebabkan dia ikut menghilang? Durasi pertemanan kami juga cukup lama, empat tahun.

Namun, mereka menikah belum lama. Jika dilihat dari tanggal pernikahan pada 12 Agustus 2023, berarti baru satu tahun lebih. Sedangkan aku menikah sudah lima tahun. Sepertinya hanya Bapak dan Mas Gava yang bisa menjelaskan semuanya. Tidak bisa ditunda lagi, aku harus minta penjelasan dari mereka. Kututup kardus dan keluar dari gudang, tetapi saat berbalik badan setelah mengunci pintu, “bruk”. Aku menabrak dada seseorang.

“Bapak!” teriakku karena terkejut.

Bapak memegang tanganku dan mengambil kunci yang ada di tangan, kemudian berkata, “Tunggulah sampai nanti malam. Setelah makan malam Bapak akan menjelaskan semuanya.”

“Iya, Pak,” jawabku dan bergegas berjalan menuju kamar karena terlihat Ibu datang mendekat. Kalau tidak segera pergi, pasti omelan panjang akan aku terima dari Ibu. Namun, saat sampai di ruang keluarga aku berpapasan dengan Mas Gava yang baru keluar dari kamar tamu dan langsung ceramah.

“Dari mana kamu? Membuat semua orang khawatir. Kamu baru saja ….” Aku membekap mulut Mas Gava dengan tangan kiri agar berhenti bicara. “Berisik, tidak usah ceramah. Sudah sore aku mau mandi,” kilahku tanpa melepas tangan yang membekap mulutnya. Kemudian melenggang pergi masuk kamar.

Rasanya tidak sabar menunggu malam tiba. Meski durasinya tidak sampai tiga jam, tetapi berasa lama sekali. Untuk mengisi waktu, aku membaca buku harian dan surat yang didapat dari gudang. Surat permintaan maaf dari Mas Daru yang dikirim bersamaan dengan undangan biru tersebut.

Seruan makan malam dari Ibu terdengar tepat saat aku melipat sajadah selepas salat isya. Kami makan malam tanpa percakapan. Beberapa kali terlihat Bapak termenung, wajah Mas Gava masih tampak cemas seperti kemarin. Aku sendiri justru bersemangat, karena sebentar lagi sebuah tabir akan tersibak.

Sekarang kami sudah berada di ruang keluarga. Aku dan Mas Gava duduk berhadapan dengan Bapak dan Ibu. Undangan biru dari gudang tadi aku letakkan di atas meja. Terdengar suara berat Bapak, “Setelah satu minggu kamu koma, Daru datang ke rumah sakit bersama orang tuanya. Awalnya Bapak senang, karena Bapak pikir mereka datang untuk memberikan dukungan kepadamu. Ternyata keliru. Mereka datang justru untuk mengembalikan kamu. Daru tidak sanggup mendampingimu, apalagi setelah keluar dari rumah sakit pasti membutuhkan waktu lama untuk pemulihan. Dengan alasan dia baru saja meniti karier dan membutuhkan konsentrasi.”

Gantian Ibu yang bicara, “Setelah mereka meninggalkan rumah sakit, kamu malah mati suri.” Mata Ibu terlihat berkaca-kaca, sepertinya sebentar lagi akan terisak.

“Berapa lama durasi aku mati suri?” tanyaku sambil melirik Mas Gava yang hanya menunduk dari tadi.

“Kamu sempat mati suri selama 30 menit,” imbuh Bapak. Tangan kanannya menepuk-nepuk punggung Ibu untuk menenangkan. “Dan sejak saat itu, bagi Bapak hubunganmu dengan Daru sudah tertutup. Kamu berhak mendapatkan yang baru yang tentunya lebih baik,” lanjutnya.

“Terus bagaimana ceritanya Mas Gava yang menikah denganku?” cercaku masih kebingungan.




Bersambung ….
#30DWC #30DWCJilid48 #Day28
@fighter30dwc

Komentar