Foto dibuat dengan bantuan AI (www.bing.com)
Malam mulai merambat, hujan datang menyusul. Huh, hujan di malam Minggu. Mataku hampir terlelap meski baru pukul 19.00 lewat. “Ting … ting … ting,” notifikasi pesan whatsapp terdengar beberapa kali. Kuraih gawai dengan rasa malas, mataku terbuka lebar seketika membaca pesan itu.
“Sudah siap pergi? Aku menunggu di depan. Jika tidak segera keluar, jangan tanya apa yang akan aku lakukan.” Sebuah nomor tersimpan dengan nama Gava. Kapan aku meyimpan nomornya, perasaan tidak pernah. Akhirnya aku bergegas ganti baju dan keluar ruangan.
Namun, sebuah omelan menyambutku, “Kalau pakai hijab yang benar. Ini masih berantakan, balik dan becermin, tidak pakai lama!” protesnya dengan mendorongku masuk. Harus menyimpan stok kesabaran yang banyak sepertinya.
Setelah menempuh perjalan sekitar 15 menit sampailah kami di Adelia Cafe & Resto yang terletak di Jalan Gajah Mada. Kemudian pelayan datang mengarahkan ke sebuah meja yang rupanya sudah dipesan sebelumnya.
“Siapa yang ingin bertemu?” tanyaku setelah duduk, mengingatkan pesan yang disampaikan tadi sore. Karena setelah mengamati sekeliling tidak terlihat tanda-tanda orang lain yang akan datang. Sikapnya juga cuek tidak seperti sedang menunggu. Lebih menyebalkan lagi, dia hanya diam bertopang dagu menatapku tanpa kata.
“Dokter!” setengah berteriak aku memanggilnya untuk mengalihkan tatapannya.
“Mas Gava, Esti. Kita hanya berdua, panggil saja Mas Gava,” protesnya kemudian meletakkan gawai di meja dan pamit ke toilet. Bersamaan dengan itu pelayan datang mengantar makanan. Namun, sebelum itu dia memastikan kepada pelayan bahwa semua makanan yang tersedia tidak ada bahannya yang terbuat dari udang. Rupanya dia alergi udang.
Ketika dia masih di toilet sebuah panggilan masuk dan yang membuat aku terkejut adalah wallpaper di gawainya adalah foto kami berdua saat tadi bermain bersama anak-anak di pengungsian. Terlebih nomor yang menelepon sangat aku kenal. Itu adalah nomor Bapak. Ya Allah, begitu banyak misteri yang tersembunyi.
Dr. Mahendra kembali dari toilet saat panggilan ketiga dari Bapak kembali berdering. Tanpa menghindar, dia berbicara dengan Bapak di depanku. “Sugeng dalu, Pak. Allhamdulillah, pengestunipun.” Setelah jeda beberapa saat, kembali dia menjawab, “Sampun, Pak. Kala wau enjang dr. Sandra maringaken hasil pemeriksaan. Sae sedanten. Inggih, sendiko dawuh.” Meletakkan gawainya di meja dan tersenyum menatapku.
“Bisa jelaskan, Mas Gava!” sahutku tidak sabar.
“Makan dahulu, biar lebih enak,” kilahnya sambil menyomot cumi goreng.
“Sambil makan juga bisa. Kalau menunggu makan selesai bisa lama,” balasku cepat. Aku mimun seteguk jus alpukat untuk mendinginkan hati dan pikiran yang mulai membara.
“Makan sambil bicara itu tidak baik, nanti bisa tersedak,” kilahnya tidak mau kalah.
“Jelaskan atau aku pulang,” ancamku sambil mengaduk-aduk isi gelas, melampiaskan amarah yang meledak. “Mas, kamu itu pria beristri. Apa moralmu sebejat ini, membawa keluar seorang gadis malam-malam. Dimana hati nuranimu, bagaimana dengan istrimu, Mas?” Aku mengeluarkan semua unek-unek yang telah lama mengendap.
“Sudah puas bicaranya? Sekarang izinkan aku bicara, tolong jangan disela.”
“Tergantung,” selaku masih dengan bersungut-sungut.
“Tidak biskah kita bicara dengan hati? Tenangkan pikiran dan bukalah hatimu. Aku akan mulai bicara kalau kamu sudah tenang,” katanya dengan lemah lembut.
Aku menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan mata. Menguatkan hati dan berusaha untuk tegar mendengar cerita yang sepertinya akan mengubah hidupku. Setelah membuka mata, terlihat dr. Mahendra juga mengambil napas sejenak, kemudian berkata, “Esti, aku adalah walimu sekarang. Sebenarnya sudah sejak lima tahun yang lalu. Yang bisa aku jelaskan sekarang adalah kita ini pasangan halal.”
Jedaaarrr … Seraya ada bom atom yang meledak di kepalaku. Linglung! Itulah yang kurasakan. Belum hilang rasa kagetku, dr. Mahendra kembali menambahkan, “Intinya jangan menjauh apalagi menghindar atas perhatian atau apa pun yang aku berikan. Aku hanya ingin menjalankan kewajiban yang seharusnya dijalankan. Karena di akhirat nanti akan dimintai pertanggungjawaban.”
“Mas, aku tidak tahu harus bicara apa? Otakku mendadak idiot untuk memikirkan semuanya,” sahutku. Badanku lemas, dengan menyandarkan kepala di kursi dan bersedekap, aku menunggu kalimat apalagi yang akan kudengar.
“Tidak perlu memikirkan segalanya sekarang, nikmati saja prosesnya pelan-pelan. Yang terpenting apa yang dilakukan tidak melanggar aturan,” jawabnya.
Aku membuka dompet dan mengeluarkan KTP, “Lihatlah, Mas! Statusnya tidak menikah.” Dr. Mahendra kembali mengambil gawai dan menyodorkan sebuah video. Setelah diputar, terdengar Bapak sedang menjabat tangannya dan terucap ijab kabul.
“Aku tidak mengerti, Mas. Jangan paksa untuk paham sekarang. Yang teringat hanya pernah kecelakaan, sempat koma dan amnesia,” sambungku.
“Sayang, lihat aku! Tolong permudah jalan kita untuk menghindari siksa api neraka. Tidak ada yang tahu kapan kita akan mati. Dan aku berharap, saat itu terjadi kita sudah mempunyai bekal untuk hidup di akhirat nanti,” imbuhnya.
Dia menyendok makanan dan berusaha menyuapiku, tetapi kutepis dengan kasar, “Tidak berselera,” tukasku dengan ketus.
“Suatu saat kamu akan tahu semuanya. Kamu bisa bertanya kapan saja jika ada yang ingin diketahui, tetapi bertanyalah kepadaku. Jangan sembunyi-sembunyi bertanya kepada orang lain, apalagi kepada dr. Sandra dan para perawat yang di rumah sakit,” sindirnya dengan senyum-senyum. "Satu lagi, besok kita akan pulang kampung. Bapak sudah menunggu ingin bertemu," tambahnya lagi.
“Aduh kok tahu, sih, kalau kemarin sempat mencari informasi tentangnya saat rawat inap,” batinku. Aku bergeming pura-pura tidak mendengar.
“Kamu harus makan, Sayang. Dari tadi kamu belum makan apa pun. Aku tidak mau besok dimarahi Bapak karena dianggap tidak memberi makan anaknya. Apa perlu aku kunyah dahulu?”
“Wuek ….”
Bersambung ….
#30DWC #30DWCJilid48 #Day22
@fighter30dwc
Komentar
Posting Komentar