Menghibur Diri

 Foto adalah koleksi pribadi

“Mana aku tahu, Mas.” Aku matikan laptop, sengaja tidak mencabut flashdisk kemudian berbaring di tempat tidur. Lelah! Mungkin tidur akan mengurangi rasa lelah yang mendera. Namun, meski berbagai posisi tidur aku coba, tengkurap, miring ke kanan, telentang, memeluk guling--hasilnya nihil. Mataku enggan terlelap.

Mungkin juga gelisah dan waspada dipandangi Mas Gava yang sedang berdiri dekat jendela. Rasanya asing berada dalam satu kamar dengan laki-laki. Akhirnya aku bangun dari tempat tidur dan mencoba mencari sesuatu yang bisa memberikan petunjuk. Aku buka satu per satu laci meja rias, kemudian meja belajar dan lemari pakaian.

“Nyari apa?” tanya Mas Gava kemudian duduk di tempat tidur.

“Apa saja yang bisa memberiku jawaban. Lagian kenapa sih, Bapak sama Ibu tidak langsung cerita saja semuanya, membuat orang bingung saja,” protesku dan menutup kembali lemari pakaian karena tidak satu pun petunjuk yang ditemukan.

“Memangnya kamu akan percaya kalau diberitahu?” Mas Gava menghampiri meja belajar dan menyibak beberapa map.

“Tergantung, penjelasannya masuk akal atau tidak,” sahutku sembari membuka lipatan-lipatan buku yang menumpuk di meja belajar.

Mas Gava mengambil tisu dan mengusap keringat yang membasahi keningku, kemudian dengan cuek melanjutkan lagi kegiatannya dan berkata, “Tidakkah kamu pernah berpikir bahwa semua yang dilakukan adalah wujud rasa sayang dan cinta terhadapmu. Apakah kamu pernah membayangkan bagaimana hancurnya perasaan Bapak dan Ibu saat kamu terbaring koma di rumah sakit kala itu? Bahkan kamu sempat ….”

“Sempat apa Mas?” sahutku penasaran.

“Tok, tok, tok.” Belum sempat Mas Gava melanjutkan penjelasannya, pintu kamar diketuk.

“Pramesti, ini dapat kiriman tiwul dari Bude Dewi.” Oh, itu suara Ibu. Aku letakkan buku sembarangan dan keluar kamar.  "Tiwulnya ada di meja makan, Nak," kata Ibu dari arah dapur. Sementara terlihat Bude masih mengobrol di teras dengan seseorang.

“Bude!” sapaku dan mencium tangannya.

“Kapan datang, Nduk? Gimana sudah sehat? Kemarin katanya nginep di rumah sakit.” Bude memutar badanku dan memeriksa dahi dengan punggung tangannya. “Tidak demam,” ujarnya.

“Sudah sehat, Bude. Hanya kecapekan saja,” kilahku.

“Makanya kalau kerja jangan capek-capek, waktunya istirahat ya istirahat, waktunya libur ya jangan lembur,” nasehatnya. Tangannya tiada henti memijat pundak dan lenganku dengan posisi berdiri.

“Bude, sudah pijatnya,” pintaku agar berhenti memijat. “Aku mau jalan-jalan keliling kampung, sudah lama tidak cuci mata dengan yang hijau-hijau.”

Yowes, hati-hati yo, Nduk! Bude juga mau pulang, tempenya belum dibungkus. Bude memang setiap hari membuat dan menjual sendiri tempe buatannya di pasar.

Akhirnya aku menghabiskan sore untuk menghibur diri dengan berkeliling kampung. Melihat pemandangan yang mungkin suatu saat akan langka. Tanaman padi di sawah, sapi dan kerbau berjalan beriringan pulang ke kandang. Burung camar dan capung berlarian di atas tanaman padi. Orang-orangan sawah dan ibu-ibu pulang dari matun sambil bersenda gurau. Benar kata Mas Gava, potret kehidupan yang damai.

“Pramesti!” Seorang pengendara sepeda motor yang membawa dua karung gabah memanggilku dan menghentikan motornya di pinggir jalan. Laki-laki dengan topi terbalik dan memakai masker saputangan.

“Siapa?”



Bersambung ….
#30DWC #30DWCJilid48 #Day25
@fighter30dwc

Komentar