Hari ini ketika membersihkan halaman depan rumah dan melihat kedondong yang sedang berbunga, anganku kembali ke masa kecil yang tinggal di pedesaan di pinggir hutan jati dengan segala keindahan alamnya. Hamparan padi di sawah, kicauan burung, nyanyian katak di parit sawah, ramai anak-anak bermain di sungai, hijaunya pepohonan , tenang dan damai.
Buah kedondong rasanya kayak sebuah permen ada rasa kecut dan ada rasa manis. Rasanya yang mengundang selera ini membuat aku dan teman-temanku terutama pada musim kemarau semasa kecil suka sekali memakannya meski hanya dengan gula atau garam saja .
Masyarakat di sekitar kami memanfaatkan buah kedondong sebagai jus, campuran rujak atau dibuat manisan , sebagian yang lain menggunakannya sebagai obat tradisional untuk membantu mengatasi sakit tenggorokan. Sejatinya khasiat kedondong tidak hanya terdapat pada buahnya tapi juga daun dan akar tanamannya.
Tetapi karena buah kedondong ini juga yang membuat salah satu teman aku harus mendapat jahitan dikeningnya karena mencium tonggak pohon turi yang ada di pematang sawah .
Di sekitar rumah kami terdapat kebun luas yang ditanami dengan aneka sayuran dan buah buahan lokal seperti singkong,bayam, kangkung, pisang ,mangga, rambutan dan kedondong. Untuk menambah kesan angker pemilik kebun mengelilingi kebunnya dengan tanaman bambu. Sedangkan pemilik lahan sendiri tinggal agak jauh dari kebun tersebut kami memanggilnya mbah Wongso.
Pada suatu hari kami berlima janjian untuk membuat rujak dengan masing-masing dari dari kami membawa buah-buahan. Di halaman belakang rumah Narsih kami berkumpul dan mulai meracik bahan-bahan , tiba-tiba salah satu temanku yang bernama Tini berceletuk :
“ wah kayaknya kalau ditambah kedondong tambah mantap ini, makin segeerrrr gimana gitu”
Karena kami semua tidak ada yang membawa buah kedondong akhirnya disepakati untuk mengambil buah tersebut di kebun milik mbah Wongso yang tentunya tanpa ijin alias mencuri. Dengan langkah mengendap-endap kami mulai menuju kebun mbah Wongso yang jaraknya hanya 30 meter dari belakang rumah Narsih yang merupakan area persawahan.
Tini mendapat tugas untuk memetik buah tersebut dengan galah yang sudah kami persiapkan sebelumnya sedangkan aku dan yang lainnya bertugas untuk mengambil buah yang jatuh serta berjaga-jaga kalau ada orang lewat. Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, baru mendapatkan 2 biji buah kedondong tiba-tiba dari arah selatan tepatnya di bawah pohon mangga yang jaraknya hanya 10 meter dari kami mbah Wongso sudah berdiri dengan mengacungkan sabitnya sambil berteriak memanggil “Tiniiii”.
Seketika kami lari berhamburan tanpa menghiraukan apapun, termasuk meninggalkan buah kedondong yang sudah kami dapat dan galah yang kami bawa tadi. Karena lari dalam keadaan panik Tini tergelincir dan jatuh di pematang sawah dengan kening yang tertancap di tonggak pohon turi, darah mengucur deras dari dahinya. Kompak kami teriak histeris dan ketika Mbah Wongso dan istrinya menghampiri kami hanya bisa menangis ketakutan. Setelah meminta bantuan warga akhirnya Tini dibawa ke Puskesmas dan keningnya mendapatkan jahitan sekitar 5 cm.
“Mbah maafkan anak-anak ya” kata bapakku kepada mbah Wongso dan istrinya.
“Oalah sudah dak apa-apa pak Zainal, sepertinya anak-anak salah paham sebenarnya mbah Wongso tadi berteriak memanggil Tini untuk memberitahu tidak usah petik kedondongnya karena di kami sudah ada tinggal ambil saja” kata istrinya mbah Wongso.
Akhirnya karena kejadian tersebut kami berlima dihukum tidak boleh keluar rumah alias tahanan rumah kecuali sekolah atau mengaji selama 1 bulan.
Selain cerita konyol tersebut kedondong juga mengingatkan aku dengan almarhum ibuku. Ibu menggunakan daun kedondong sebagai campuran membuat asem-asem. Selain daging, buncis dan wortel daun kedondong ditambahkan untuk menambah rasa masam pada sayur tersebut.
Peristiwa tentang buah kedondong sering menjadi topik cerita ketika kami bertemu saat pulang kampung.
Oleh:
Dayani Hamida
Komentar
Posting Komentar