Foto: dibuat dengan bantuan AI (www.bing.com)
“Belum, Dokter,” jawab Melia tanpa dosa. Melia mengedipkan matanya dan kembali berkata, “Daripada kami gibah kayaknya lebih baik kalau Dokter yang cerita sendiri, deh. Benar kan, Pramesti?”
“Terserah kamulah,”jawabku malas.
Seperti biasa, dr. Mahendra hanya mengangkat bahunya seolah mengatakan terserah kalian. Kemudian berjalan ke arahku memeriksa infus dan meletakkan punggung tangannya di dahi. “Em … sudah tidak demam dan infusnya juga sudah habis,” gumamnya. Setelah mengunci selang infus, dia melihat jam tangan sekilas dan kembali berkata, “Setelah dokter yang bertanggung jawab atas kamu mengizinkan pulang, bersiaplah. Aku akan mengantar kalian.”
“Iya, Dokter,” jawabku.
“Siaapp! Ini beres-beresnya juga sudah selesai. Tinggal Pramesti yang belum ganti baju,” ucap Melia.
“Dia memang manja kalau sakit, Melia. Mungkin lagi memberi kode untuk dibantu ganti baju,” jawab dr. Mahendra malah melantur tidak keruan. Lah, kenapa dua orang ini malah seolah-olah meledekku, sih. Akhirnya aku memilih diam, sembari menunggu visite dokter.
Setelah diizinkan pulang aku bergegas ke kamar mandi dan berganti baju. Ketika kembali dari kamar mandi dr. Mahendra terlihat duduk di sofa dan sedang bicara dengan sesorang melalui gawai. Namun, Melia tidak ada di ruangan, entah pergi ke mana. Belum terjawab tentang keberadaan Melia, perkataan dr. Mahendra dengan seseorang yang dipanggil papa itu malah mencuri perhatianku.
“Iya, Pa. Sudah di izinkan pulang hari ini. Nanti Gava bujuk dia untuk pulang kampung.”
Tangan kirinya menggapai tanganku, menarik dan membuatku duduk di sampingnya. Kemudian melanjutkan pembicaraan. “Tidak perlu diubah, sesuai rencana awal saja, Pa. Setelah hari raya Idulfitri.”
“Apa maksudnya coba, menjadikan aku penguping,” batinku kesal.
“Iya nanti Gava sampaikan salamnya untuk menantu Papa,” katanya mengakhiri pembicaraan. Namun, bukan itu yang membuatku terkesiap, dengan cueknya dia berkata, “Salam dari Papa, kapan akan ke Solo?”
“Haaah?”
Beruntung Melia segera datang dan menyelematkanku dari pembicaraan ambigu. Setelah mengambil tas berisi bajuku dia berkata, “Melia, alamat rumahmu di mana?”
“Rumah saya, Dok. Kita tidak pulang ke pengungsian?” tanya Melia balik, pertanyaan sama yang muncul di pikiranku.
“Besok saja kembali ke pengungsian, hari ini istirahat di rumahmu. Di pengungsian, akan kedatangan relawan mahasiswa KKN dari Unigoro, jadi kalian bisa istirahat dulu.”
“Oh, baiklah kalau begitu. Em … rumah saya di Polim Regency, Dok,” jawab Melia setelah mendapat penjelasan dari dr.Mahendra.
“Oke, ayo kita berangkat,” ajak dr. Mahendra kemudian membuka pintu ruangan rawat inap VIP RSI Aisyah.
Dalam perjalanan menuju kendaran, aku berbisik kepada Melia, “Nomor rekeningmu berapa? Nanti aku transfer ganti biaya rumah sakitnya. Dan satu lagi handphone aku di mana?”
“Biaya rumah sakit diurus dr. Mahendra, kalau gawaimu dibawa juga sama dr. Mahendra,” jawab Melia juga dengan berbisik.
“Bruk.” Aku menabrak sesuatu. Setelah membuka mata, ternyata punggung dr. Mahendra. Ya Allah, malu sekali rasanya, apalagi sempat menikmati aroma yang menguar dari bajunya. Aroma woody yang terkesan hangat dan maskulin. Dan sudah sampai di parkiran. Sialnya Melia langsung mengambil tas yang dibawa dr. Mahendra dan bergegas masuk ke dalam mobil. Mataku berkeliling, menyapu pandang ke sekitar sambil berpikir untuk memberikan alasan yang logis.
“Ada apa, pusing lagi?” tanyanya dengan khawatir.
Syukurlah, dia tidak mempermasalahkan kejadian barusan.
“Tidak, hanya saja aku kepikiran untuk menjenguk Bu Yati dahulu,” jawabku mengambinghitamkan Bu Yati sebagai alasan.
“Sudahlah, ada suami yang mengurusnya.”
Aku memilih menuruti perkataannya dan pulang. Gerimis kembali mengiringi perjalanan ke rumah Melia. Ketika melewati sebuah pasar, aku melihat beberapa anak sedang menawarkan jasa ojek payung. Miris!
Mungkin sebagian anak-anak yang lain masih tidur di bawah selimut setelah semalam begadang merayakan tahun baru, jejak pesta di alun-alun kota bahkan masih terlihat. Namun, mereka sudah banting tulang membantu orangtua demi bertahan hidup. Tiba-tiba mobil berhenti di depan kios yang menjajakan buah-buahan.
“Melia, tolong ambilkan payung, mungkin di bawah kakimu dan kamu Esti, mau buah apa?” tanya dia sebelum keluar dari mobil.
“Apa saja,” jawabku tanpa menoleh sedikit pun kepadanya. Mataku masih saja mengamati para bocah penjaja ojek payung. Tiba-tiba seorang bocah laki-laki berusia sekitar 10 tahun mengetuk pintu mobil. Melia membuka kaca mobil kemudian bertanya, “Ada apa, Dik?”
“Ojek payung, Kak? Hanya sepuluh ribu saja,” katanya sambil mengusap wajahnya yang penuh air hujan.
“Tidak terima kasih, Dik.” jawab Melia seraya mengulurkan uang Rp50.000. “Ambil saja buat kamu, katanya lagi. Namun, jawaban anak itu justru menampar kami seketika.
“Ibu pernah bilang, kita tidak boleh menerima sesuatu tanpa usaha, Kak. Karena tidak semua bisa dinilai dengan uang."
Jleb … mengguncang jantungku.
Bersambung ….
#30DWC #30DWCJilid48 #Day17
@fighter30dwc
Komentar
Posting Komentar