Foto dibuat dengan bantuan AI (www.bing.com)
“Aku ingat, payung itu dari ….” ujarku lirih. Tubuhku tak bertenaga dan keringat dingin membasahi.
“Kamu sudah ingat, Nak.” Ibu mengusap airmatanya, kemudian mengulurkan segelas air putih.
Aku hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. Mas Gava membantuku minum, setelah itu tangan kanannya mengenggam erat tanganku dan tangan kirinya mengusap-usap kepalaku. Jika wajah Bapak dan Ibu menggambarkan kelegaan, namun wajah Mas Gava justru terlihat cemas.
“A a ku … bertengkar dengan Mas Daru sebelum kecelakaan. Di mana ….”
“Sssttt, sudah jangan berpikir yang berat dahulu, istirahatlah,” saran Mas Gava. Dia menciumi tanganku dan aku merasakan punggung tanganku basah. Apakah Mas Gava manangis? Kenapa? Apakah kondisiku parah? Jika iya, kenapa Bapak dan Ibu terlihat lega? Setelah Bapak dan Ibu keluar kamar, aku tak kuasa membuka mata dan akhirnya terlelap.
Malam berlalu begitu cepat dan esok akan mulai dengan cerita yang baru, begitulah kehidupan. Sinar mentari yang masuk melalui sela-sela jendela mengusik tidurku. Astagfirullah al lazim, aku meninggalkan salat subuh. Setelah lima tahun, rasanya baru tadi malam bisa tidur nyenyak tanpa gangguan mimpi buruk yang menghantui sehingga lalai menjalankan salat. Ya Allah, ampunilah hamba.
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar, jendela masih tertutup rapat, lampu masih menyala padahal jam dinding menunjukkan pukul 07.12 WIB. Kemana Mas Gava? Tunggu! Aku berada di kamarku sendiri dan barang-barang Mas Gava tidak ada. Mungkinkah …. Sudahlah, kutepis pikiran tentang Mas Gava, bergegas mandi dan sarapan. Perutku sudah keroncongan minta diisi.
Sampai selesai sarapan belum terlihat, Bapak, Ibu maupun Mas Gava. Kemana perginya mereka? Akhirnya aku mengisi waktu dengan membaca buku di ruang keluarga. Bude Dewi yang baru datang dari pasar, masuk dengan membawa belanjaan, meletakkannya di meja makan dan berkata, “Nduk, ini belanjaan titipan Ibumu.” Setelah melongok ke dapur tidak ada orang, kembali Bude bertanya dengan keheranan, “Kok sepi, belum pada datang mereka?”
“Aku baru bangun, Bude. Jadi tidak tahu,” kilahku. Aku mengintip isi kantong belanjaan di atas meja, banyak sekali. Ibu mau masak apa, sih. Tidak hanya itu, masih ada beberapa barang yang baru dibawa masuk oleh tukang becak.
Setelah tukang becak itu pergi Bude kembali berkata, “Bapak, Ibumu diantar Gava pergi takziah ke Pak Sukadi, kemarin meninggal disambar petir saat masih di sawah.”
“Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun,” ucapku dalam hati. Setiap manusia memang akan mati, hanya kita tidak tahu kapan dan dimana saat itu datang.
“Asalamualaikum.” Terdengar ada orang mengucap salam dari arah depan rumah.
“Wa alaikumus-salam,” jawab kami. Bude melongok ke depan, kemudian mengemasi tasnya dan berkata lagi, “Sepertinya ada tamu. Yowes, Bude pulang dulu.”
Bersamaan dengan Bude aku keluar untuk melihat tamu yang datang. Ya Allah, Bening. Aku melongo beberapa saat, dan baru menguasai keadaan setelah dia berkata, “Tidak disuruh duduk nih, atau memang tidak menerima tamu?” Tangannya mengulurkan kantong plastik hitam.
“Maaf, silakan duduk, Bening,” ucapku. Aku menerima kantong plastik tersebut dan duduk di kursi teras. “Mau minum apa?” tawarku kepadanya.
“Apa saja asal ….”
“Asal tidak dingin,” sahutku. Kita berdua memang tidak tahan dengan minuman dingin. Dia tergelak sehingga terlihat gigi gingsulnya. Aku berlalu untuk membuat teh hangat dan membuka kantong plastik yang dia berikan. Sekarang giliran aku yang tergelak sendiri melihat isi kantong. Buah kenangan kami masa kecil, jamblang dan kersen.
Aku kembali ke teras, terlihat dia termenung sambil memainkan kunci motor. Setelah terdiam beberapa saat, akhirnya dia berkata, “Mungkin sekarang saat yang tepat bagiku, untuk menjelaskan semuanya. Pramesti, Bening jiwanya sudah mati, berganti dengan Purnomo. Kisah Bening juga telah berlalu dan selanjutnya menjadi kisah Purnomo.”
“Aku tahu, penampilanmu sudah menjelaskan semuanya, tetapi bagaimana bisa terjadi?” tuntutku meminta penjelasan.
Matanya menerawang menatap langit dan kembali berujar, “Setelah lulus SD, aku membantu Ibu di pasar dengan menjadi kuli angkut seperti yang dilakukan Mas Darman. Sampai pada suatu waktu aku bertemu dengan seorang ibu-ibu dari keluarga terpandang yang kemudian membawaku untuk berkerja di rumahnya dengan bayaran sekolah sampai lulus SMA.
Setelah itu aku ikut klub bola voli, bahkan beberapa kali berpartisipasi membela negara untuk pertandingan ke luar negeri. Dari sanalah aku mulai merasa ada yang berbeda. Atas inisiatif pemilik klub akhirnya dilakukan serangkaian pemeriksaan medis. Dan semua perbedaan yang aku rasakan terjawab. Dari hasil pemeriksaan tersebut, dilakukan tindakan medis yang mengubah hidupku. Karena sejak saat itulah kisah Bening berlalu, kemudian dimulai kisah yang baru sebagai Purnomo.”
“Jadi, aku harus bagaimana?” tanyaku masih dengan rasa tidak percaya.
“Berhubung yang ada sekarang adalah Purnomo, perlakukan aku sebagai Purnomo,” mohonnya.
Tepat setelah Purnomo menyelesaikan penjelasannya, sebuah mobil berhenti di depan rumah dan sebuah suara yang mulai familier terdengar, “Sayaaang ….”
Bersambung ….
#30DWC #30DWCJilid48 #Day27
@fighter30dwc
Komentar
Posting Komentar