Melangkah Bersama

 Foto dibuat dengan bantuan AI (www.bing.com)

“Aku bingung, Bu. Mas Gava adalah orang yang menyebabkan ….”

“Ibu tahu, tetapi dia juga sudah bertanggung jawab, Nak. Sejak akad itu terlaksana, meski berada di luar negeri, dia tidak pernah melupakan kewajibannya,” jelas Ibu.

“Tolong! Bagian mana lagi yang belum aku ketahui, Bu,” pintaku menatap Ibu penuh harap.

Setelah terdiam beberapa saat, kembali Ibu berkata, “Dia tidak hanya membiayai seluruh biaya pengobatan dan perawatanmu, tetapi juga tidak pernah sekali pun telat memberikan nafkah. Bukankah setiap bulan rekeningmu selalu bertambah meskipun dahulu kamu belum bekerja?”

“Bukankah itu dari Bapak dan Mas Bagas?” Kubuka aplikasi mobile banking untuk mengeceknya, dan hanya tertera nama Bapak, Mas Bagas, serta perusahaan tempat aku bekerja.

“Ternyata anak Ibu yang satu ini, meski sudah berkelana sampai ke luar negeri tetap saja polos.” Ibu tersenyum, berdiri kemudian membuka jendela, mematikan lampu dan keluar dari kamar. Aku mengikutinya sampai ke dapur. Sambil menyiapkan sarapan Ibu bercerita lagi, “Bahkan rumah yang kamu tempati di Malang juga dibelikan olehnya.”

“Itu rumah fasilitas dari perusahaan, Bu,” sanggahku. Karena memang HRD yang memberikan rumah itu untuk ditempati sebagai fasilitas untuk karyawan.

“Kamu itu, mana ada, Nak. Baru bekerja langsung mendapat fasilitas rumah. Salah satu direktur tempat kamu bekerja adalah sepupu Nak Gava,” imbuh Ibu.

“Jadi?”

“Tentu saja, Nak Gava yang sudah mengatur semuanya,” kata Ibu menutup penjelasannya.

“Apakah Bapak dan Ibu merestui, aku menjadi istri Mas Gava? Ikhlas bukan karena terpaksa?” tanyaku memastikan.

“Setiap orang tua pasti berharap setiap anaknya hidup bahagia. Bapak dan Ibu tidak melihat celah untuk tidak percaya, jika Nak Gava akan membuatmu bahagia. Dia adalah laki-laki yang bertanggung jawab dan sangat menyayangimu,” jelas Ibu menyiratkan kekaguman.

“Darimana Ibu tahu kalau Mas Gava sangat sayang kepadaku? Bisa saja semua sikap yang ditunjukkan selama ini hanya kamuflase untuk menarik simpati,” sanggahku. Kami berpindah ke meja makan. Ibu sibuk menata hidangan di meja, sedangkan aku duduk di kursi sambil mengaduk sambal pecel.

“Semua orang juga bisa melihatnya, Nak. Lidah boleh berbohong, namun pancaran mata yang terlihat tidak bisa menipu. Ibu sudah banyak makan asam garam di dunia, insyaallah mata batin Ibu tidak salah,” sambungnya menutup pembicaraan.

Aku terdiam, mencoba mencerna semua penjelasan Ibu. Melihatku terdiam, Ibu menghampiriku kemudian berbisik, “Salat, minta petunjuk kepada-Nya.”

Sepertinya, semua sudah diatur dengan rapi. Benar kata Ibu, hanya kepada-Nya aku harus mengadu. Mohon petunjuk agar diberikan jalan yang terbaik. Setelah salat beberapa malam aku merasakan ketenangan, sekaligus sebuah kerinduan. Malam ini sebelum tidur angin kencang berembus karena akan turun hujan. Semilir angin yang masuk melalui jendela menyibak halaman sebuah buku yang terbuka di atas meja.

Dalam halaman buku yang terbuka tersebut mengulas tentang takdir atau ketentuan Allah. Intinya adalah bahwa rezeki, jodoh, dan maut sudah diatur Allah. Sebagai manusia sudah selayaknya ikhlas menerima takdir yang telah menjadi ketetapan-Nya. Mas Gava benar, tidak ada yang tahu bagaimana cara Allah mempertemukan jodoh kita dan sepertinya melangkah bersama untuk melanjutkan hidup adalah pilihan terbaik.

Sebagaimana yang tertulis dalam QS Ar-Rum:21,

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu mendapat ketenangan hati dan dijadikan-Nya kasih sayang di antara kamu. Sesungguhnya yang demikian itu menjadi tanda-tanda kekuasaan-Nya bagi kaum yang berpikir.”

Aku mengambil gawai dan mengirim pesan kepada Mas Gava, “Mas, jemput aku. Besok!”





#30DWC #30DWCJilid48 #Day31
@fighter30dwc

Komentar