Payung Hitam

Foto dibuat dengan bantuan AI (www.bing.com)

Deg! “Bukankah payung hitam itu pemberian dari …,” batinku. Sebenarnya sudah lama aku mencari keberadaan payung tersebut, tetapi tidak ketemu. Payung hitam bermotif batik. Seakan menghilang bersama dengan pemberinya. Dan sekarang payung itu tiba-tiba digunakan Bapak. Apakah sang pemberi juga akan muncul kembali? 

“Ayo turun, Sayang! Itu lihat, Bapak sampai menyusul,” kata Mas Gava. Tangannya menggapai payung di bawah jok dan memberikannya padaku. Aku menerimanya tanpa bersuara dan terus menatap payung yang digunakan Bapak. “Pluk.” Sebuah tepukan di pundah menyadarkanku. “Lihat apa sih? Sampai bengong begitu.” 
 
“Bukan apa-apa, tidak penting,” kilahku sambil membuka payung kemudian keluar dari mobil dan berlari masuk rumah mencari Ibu. Sengaja mengabaikan Bapak, karena masih kecewa. 
 
Terlihat Ibu sedang menata makan siang, aromanya sedap sekali. Aku peluk Ibu dari belakang. Ibu berbalik dan membalas dengan menciumku berkali-kali, kemudian memelukku erat. Em, rasanya sangat menenangkan. Setelah duduk, Ibu menyodorkan susu yang masih mengepul dan mulai interogasi. 

“Kemarin katanya pingsan dan sempat rawat inap, Nak. Bagaimana perasaanmu sekarang? Jam berapa tadi berangkat, kok baru sampai? Bagaimana perjalanannnya, lancar kan? Mau berapa lama di rumah? Kapan balik?” 

“Bu, aku harus jawab yang mana dahulu? Ibu ini, baru juga datang sudah ditanya kapan balik,” jawabku sambil mengunyah tempe goreng. 
 
Ibu hanya tersenyum mendengar jawabanku. Begitulah Ibu, selalu bertanya banyak hal. Meski tidak mendapat jawaban memuaskan, tetap tersenyum. “Ya sudah bersih-bersih dahulu, sebentar lagi zuhur. Ajak sekalian Mas Gavanya,” perintah Ibu saat melihat Mas Gava melintas sambil membawa dua kantong belanjaan ke dapur. 

Aku menahan tangan Ibu ketika akan beranjak pergi, “Bu, payung hitam itu ketemu dimana?” tanyaku dengan berbisik. “Payung hitam yang digunakan Bapak? Kamu sudah ingat semuanya, Nak? Payung yang diberikan sama …?” Ibu tidak meneruskan pertanyaannya. 
 
“Iya, Bu. Payung mana lagi? Ya payung itu. Belum ingat semuanya sih, hanya ingat kalau payung itu diberikan oleh seseorang tetapi tidak ingat dia siapa. Ingat wajahnya saja. Ketika pingsan kemarin aku mimpi buruk lagi, melihat peristiwa kecelakaan dan payung itu,” sahutku tidak sabar. Aku sudah bertekad bahwa kepulangan kali ini harus berhasil mengungkapkan semuanya. 
 
Ibu menghela napas dan menjawab, “Semua barang-barangmu yang tidak terpakai disimpan di gudang dan kuncinya ada sama Bapak.” 

Setelah makan siang terdengar Bapak dan Mas Gava membahas tentang hasil CT scan saat dirawat inap kemarin. Tidak ingin melewatkan kesempatan, aku menggunakan waktu untuk mencari kunci gudang dengan menggeledah meja kerja Bapak, namun malah menemukan sebuah flashdisk dalam kantong plastik tertulis namaku. 
 
Aku kembali ke kamar dan mengambil laptop Mas Gava. Sial! Laptopnya menggunakan sandi. Karena malas untuk keluar, aku bertanya melalui whatsapp, “Mas, sandi laptopnya apa?” Tidak perlu waktu lama pesanku sudah dibalas, “11112019”. 

Ternyata di dalam flashdisk terdapat beberapa folder. Aku buka satu persatu folder tersebut. Sudah tiga folder terbuka, namun hanya berisi hal-hal yang tidak penting. Folder keempat berisi foto bersama teman indekost dan teman dekat yang masih berhubungan sampai sekarang. Dua orang diantaranya aku kenali berada dalam peristiwa kecelakaan yang terkadang muncul dalam mimpi buruk dan saat pingsan kemarin. Namun sayang, aku tidak memiliki kontak keduanya. 

Sampai pada folder yang berjudul ‘kenangan’ terdapat beberapa fotoku dengan payung hitam tersebut. Dalam folder tersebut banyak sekali fotoku bersama seorang cowok yang sama. Pada foto terakhir aku berfoto dengannya di bawah payung tersebut. Setelah aku perhatikan dengan saksama, ternyata dia adalah cowok yang memberikan payung itu. Namun, siapa sebenarnya dia? Apakah dia mantan? 

“Siapa dia, Sayang?



 Bersambung …. 
#30DWC #30DWCJilid48 #Day24
 @fighter30dwc




Komentar