
Foto adalah koleksi pribadi
“Jijik, Mas.” Aku memegang perut dan menutup mulut seakan mau muntah.
“Maaf, maaf. Makanya cepat makan, sudah malam,” katanya dan menaruh beberapa potong daging ke dalam piringku.
Aku terpaksa memasukkan makanan ke dalam mulut meski terasa hambar. Tebersit rasa kecewa kepada Bapak. Kenapa tidak ada penjelasan apa pun selama lima tahun ini? Tiba-tiba saja ada seorang laki-laki yang mengaku sebagai suami dan statusku berubah menjadi seorang istri. Berharap ini hanya mimpi, namun jawaban Bapak saat dikonfirmasi, membuatku sadar bahwa ini adalah kenyataan.
“Jangan besok pulangnya, Mas. Sabtu depan saja,” pintaku setelah memikirkan segalanya. Aku belum sanggup untuk menerima kenyataan yang lain. Perlu persiapan mental untuk bisa mencerna dan memutuskan menerima atau menolak yang telah terjadi. Firasatku mengatakan ada kenyataan lain yang belum terungkap.
“Baiklah. Sekarang habiskan makananmu dan kita pulang.”
“Sudah kenyang,” kilahku yang memang sudah kehilangan selera makan.
Dalam perjalanan kembali ke pengungsian aku hanya diam. Memilih untuk memandang jalanan yang basah karena jejak hujan. Lalu lintas mulai sepi. Maklum kota kecil, di atas pukul 21.00 biasanya sudah jarang kendaraan melintas di jalan.
Saat sampai di pengungsian sudah sepi, hanya Pak Parjo dan dua mahasiswa KKN berada di pos keamanan. Mobil berhenti di tempat parkir yang terletak di depan pos keamanan. Perasaanku berkecamuk, tatapan menunggu dan penasaran terlihat nyata dari orang-orang yang berada di pos keamanan.
“Keluarlah!” pinta Mas Gava saat membukakan pintu mobil.
Aku keluar dengan pasrah. Benar saja, semua orang yang berada di pos keamanan memelotot. Pak Parjo langsung berteriak, “Jadi istrinya Pak Dokter itu Mbak Pramesti? Ya Allah, saya tidak menyangka.”
“Iya, Pak. Maaf kami duluan, sudah malam,” jawab Mas Gava singkat. Aku bergegas masuk dan menyusul Melia yang sudah terlelap.
Sesuai dugaanku, esok paginya aku menjadi bahan berita di pengungsian. Hampir semua orang mempertanyakan kebenaran berita yang disebarkan Pak Parjo kecuali suster Eni. Karena ternyata suster Eni sudah tahu dan dia yang menjadi juru foto saat kami bermain bersama.
Satu minggu berlalu dengan canggung, aku memilih menghindari pertemuan dengan Mas Gava, menjawab seadanya jika terpaksa bertemu. Dan sekarang hari Sabtu, saatnya pulang kampung sesuai waktu yang telah disepakati.
Jarak dari pengungsian ke kampung tidak lebih 40 km, biasanya bisa ditempuh dengan waktu 1,5 jam. Namun, bagiku terasa sangat lama. Aku menyibukkan diri dengan membaca buku Janji dari penulis Tere Liye.
“Apakah buku itu lebih menarik hatimu daripada aku?” tanya Mas Gava setelah setengah perjalanan. Aku hanya melirik sesaat kemudian kembali lagi membaca buku.
“Kalau ingin melampiaskan amarahmu silakan saja. Pukul saja aku, jambak, tendang atau apa pun lakukan sepuasmu, jika itu membuatmu lega. Tolong jangan diamkan aku,” imbuhnya. Kemudian mobil berbelok di sebuah mini market. “Mau nitip apa atau mau ikut turun?” tanya Mas Gava sebelum keluar dari mobil.
“Camilan saja,” jawabku tanpa menoleh. “Cup.” Sebuah kecupan mendarat di pipiku.
“Bruk.” Refleks aku memukulnya dengan buku, namun berhasil ditepisnya dengan tangan. “Aku bisa melakukan lebih dari ini, jika kamu tidak mengubah sikapmu,” ujarnya sebelum berjalan ke arah ke mini market.
Aku pandangi sosok yang baru saja masuk ke mini market tersebut. Apa sikapku terlalu berlebihan? Apa dia pantas diperlakukan seperti itu? Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benakku. Namun sialnya aku tidak menemukan jawabannya.
Mas Gava keluar dengan membawa tiga kantong besar. Satu kantong berisi camilan dan minuman, satu kantong berisi sembako, dan satu kantong lagi berisi buah-buahan. Setelah menerima kantong berisi camilan, aku menurunkan sandaran kursi dan memejamkan mata. Mencoba untuk tidur, sayup-sayup terdengar lagu cinta dari radio yang menyala.
Aku terbangun saat terdengar bunyi kereta api melintas. Rupanya sudah sampai di perlintasan, pertanda sebentar lagi akan sampai di tujuan. Di kanan kiri jalan, terlihat area persawahan dengan tanaman padi yang tumbuh subur, daun pohon jati juga rimbun, sangat kental tercium aroma pedesaan.
“Sayang, apakah kamu tahu impian terbesarku?” tanya Mas Gava memecah kegiatanku menikmati pemandangan.
“Apa?”
“Menikmati masa tua di kampung yang damai. Jauh dari hiruk pikuk ambisi manusia, yang terkadang menghalalkan segala cara untuk mencapainya. Menua bersamamu dengan damai. Berada di lingkungan yang masih menjunjung tinggi budaya. Tolong menolong, rukun, udara yang tidak terkontaminasi polusi, dan meskipun minim fasilitas terasa menenangkan jiwa.”
Aku menjawab sekadarnya, “Semoga semua impianmu tercapai, Mas.”
“Amin yra,” sahutnya mantap. “Sayang, tidak bisakah kita berdamai?” tanyanya kemudian saat jarak ke rumah tinggal beberapa meter. Kembali aku bergeming, karena Bapak sudah menunggu di teras dengan sebuah payung hitam.
“Breeesss ….” Hujan turun dengan deras tepat saat mobil berhenti di depan rumah, tetapi … “Payung hitam itu …” batinku dejavu.
Bersambung ….
#30DWC #30DWCJilid48 #Day23
@fighter30dwc
Komentar
Posting Komentar