Saat Mati Lampu

      Foto dibuat dengan bantuan AI (www.bing.com)

“Lupa?” tanya dia setelah mendekat dan membuka saputangan yang digunakan sebagai masker.

“Maaf, siapa ya?” jawabku kebingungan, menerka-nerka siapa laki-laki ini. Namun, bekas jahitan di dagunya mengingatkanku kepada seseorang. “Apakah Mas …?”

“Hayo siapa?” tanyanya lagi. Jarinya mengusap-usap bekas jahitan itu.

“Mas Darman! Kakaknya Ben ….” Kebingunan kembali mendera, untuk menyebut Bening atau Purnomo. Namun, sepertinya Mas Darman tidak mempermasalahkan sebutan itu. Raut wajahnya biasa saja.

“Kapan pulang?” tanyanya lagi. Dia memasukkan saputangan ke dalam salah satu kantong celananya dan beralih membuka topi kemudian mengipas-ngipaskan ke tubuhnya.

“Baru tadi pagi, Mas.”

Belum sempat bicara banyak dengan Mas Darman, dua orang berboncengan sepeda motor melintas dan berteriak tanpa menghentikan motornya, “Man … Darman, cepat sudah ditunggu Mbah Kaji.”

Mas Darman hanya mengangkat tangan sebagai jawaban, kemudian berkata, “Mainlah ke rumah. Itu kersen dan jamblang di depan rumah sedang berbuah lebat. Tidak ada yang mengambilnya.”

“Iya, Mas. Kapan-kapan kalau ada waktu longgar. Em ….” Aku mengurungkan niat untuk bertanya tentang Bening.

Mas Darman kembali mengenakan topi dan menghidupkan motornya, tetapi sebelum melaju dia berkata, “Bening kemarin juga pulang.” Kemudian pergi meninggalkanku tanpa menoleh sedikit pun, tidak memberiku kesempatan untuk bertanya lebih jauh tentang Bening.

Mas Gava masih tidur saat aku kembali dari berkeliling kampung. Aku mengambil beberapa barang dan memindahkan ke kamar tamu, karena tidak ingin bermalam berdua dalam kamar yang sama dengannya. Entahlah, rasanya masih belum bisa menerima keadaan sebelum semuanya jelas.

Sejak makam malam, Mas Gava tidak bisa menyembunyikan wajah masamnya, setelah menyadari aku pindah ke kamar tamu. Dia langsung masuk ke kamar setelah makan, begitu juga dengan Bapak, hanya Ibu yang terlihat menonton televisi setelah membereskan meja makan.

Kalau tadi pagi aku hanya mengabaikan Bapak, malam ini aku mengabaikan seluruh penghuni rumah. Sepertinya mereka semua bersekongkol menyembunyikan apa yang terjadi. Aku seperti orang bodoh, saat orang-orang yang bertemu denganku tadi bertanya tentang suami, anak, atau pernikahan.

Rumah sudah sepi ketika aku keluar dari kamar untuk mengambil minum. Jam dinding menunjukkan pukul 21.13 WIB, tetapi lampu ruang tamu sudah dimatikan. Saat melintas di depan kamar utama, terdengar Ibu yang sedang berbicara dengan Bapak.

“Pak, apa tidak sebaiknya kita ceritakan semua yang terjadi kepada Pramesti? Baik itu ingatannya yang belum pulih maupun kejadian selama dia koma. Ibu tidak kuat didiamkan Pramesti.” Setelah itu terdengar isakan Ibu.

“Apalagi Bapak, Bu. Pramesti adalah anak perempuan kita satu-satunya. Kita semua sangat sayang kepadanya. Bahkan kakaknya--Bagas dan adiknya--Bagus, sudah wanti-wanti agar tidak gegabah saat bicara dengannya. Dikhawatirkan nanti dia syok dan membayakan jiwanya. Pramesti tidak hanya koma, bahkan sempat mati suri jika Ibu lupa.”

“Tapi, Pak ….”

“Bapak janji ini hanya sementara, tunggulah beberapa hari lagi. Lagi pula Nak Gava juga sudah memulai dengan memberitahu statusnya. Meskipun masih pernikahan siri.”

“Pet.” Gelap! Listrik padam. Aku berniat kembali ke kamar. Sial! Kakiku tersandung bantal kursi yang berserakan di karpet depan televisi. “Bruk …, pyaaarrr …, duk.” Gelas minum yang kupegang terlepas dan pecah. Aku terjatuh dan kepalaku menimpa salah satu bantal tersebut.

“Brak, Pramesti.” Setelah mendengar teriakan itu mataku berkunang-kunang dan gelap.

***

“Aku tidak bisa, Esti. Pekerjaanku tidak bisa aku tinggalkan. Jatah cuti tahunan juga sudah habis,” jawab Mas Daru saat aku telepon memberi tahu jadwal wisuda kelulusan.

“Mas, tolong ini peristiwa penting. Masak tidak bisa sih, izin sehari saja,” protesku.

“Tidak bisa ya tidak bisa, kamu ini bagaimana sih, Esti. Tut …, tut ….” Mas Daru mematikan telepon sepihak.

Dan hari yang nahas itu, dua hari setelah wisuda kelulusan, aku bersama beberapa teman-teman merayakan kelulusan dengan makan bersama. Setelah itu singgah sebentar ke kampus. Saat keluar dari kampus hujan turun, beruntung aku membawa payung hitam pemberian Mas Daru. Saat akan turun dari trotoar jalan untuk menghindari lubang, tiba-tiba ….

“Dor … ciiittt … brak.” Sesuatu yang keras menghantam tubuhku. Darah keluar dari beberapa bagian tubuhku. “Bruk.” Aku ambruk dan kembali gelap.

***

Aroma minyak yang menyengat tercium hidungku, mataku perlahan membuka dan terlihat Ibu menangis. Helaan napas lega terdengar sangat dekat denganku.

“Kamu sudah sadar, Sayang?”





Bersambung ….
#30DWC #30DWCJilid48 #Day26
@fighter30dwc

Komentar