Tragedi Dini Hari


Foto dibuat dengan bantuan AI (www.bing.com)

“Maaf, permisi dulu ya, Kak,” pamit anak ojek payung tersebut. Dan kami berdua hanya melongo menatap kepergiannya menembus hujan yang mulai turun deras.

Keheningan menyelimuti perjalanan kami menuju rumah Melia. Aku dan Melia masih syok dengan perkataan anak ojek payung tadi, sedangkan dr. Mahendra tampak sangat hati-hati mengemudi mobil. Setelah sampai tujuan, Melia langsung memelesat terlebih dahulu ke dalam rumah.

Dr. Mahendra tampaknya juga tidak ingin singgah. Sebelum kembali ke rumah sakit dia mengembalikan handphone dan dompetku, namun tas kecil yang menjadi tempatnya telah berganti.

“Dokter, ini tasnya siapa? Maaf, saya tidak bisa memakainya.” Aku mengeluarkan isinya dan mengulurkan tas tersebut kepadanya.

“Itu tas untukmu, sebagai ganti yang kemarin basah. Sudahlah, aku malas berdebat pagi-pagi. Gunakan waktu istirahatmu dengan baik. Sampai jumpa besok, aku kembali ke rumah sakit dahulu.”

“Tapi, Dokter ….”

“Salam buat orang tua Melia, assalamualaikum,” sahutnya tidak memberiku kesempatan bicara, kemudian berbalik masuk ke mobil.

Setelah mandi dan minum obat, aku benar-benar memanfaatkan istirahat di rumah Melia. Hampir seharian hanya rebahan dan berbincang ringan bahkan makanan juga membeli melalui layanan pesan antar. Aku abaikan rentetan pertanyaan Melia tentang sikap dr. Mahendra terhadapku. Bukan karena ingin menutupi sesuatu, tetapi sejujurnya aku sendiri juga bingung.

Ingatanku akibat kecelakaan itu rupanya belum sepenuhnya kembali. Dan sosok dr. Mahendra tidak sedikit pun terselip dalam ingatanku. Isya belum lama berlalu, tetapi kami sudah masuk kamar dan tertidur. Dini hari sekitar pukul 02.00, suara gaduh dari arah depan rumah mengganggu tidurku.

“Melia, Mel, bangun! Ada keributan di luar.” Aku membangunkan Melia yang masih terlelap, tidak terganggu oleh suara gaduh yang semakin lama semakin jelas terdengar.

“Tek … tek … tek …, Pak Sidik, Pak, minta tolong.” Kembali terdengar bunyi pagar di pukul dan suara minta tolong terdengar berulang-ulang.

Aku menyambar jaket yang tergantung di pintu dan berlari keluar kamar. Melia menyusul dengan berjalan gontai dan mata setengah terpejam. Pintu rumah baru terbuka separuh ketika dari langit muncul kilatan cahaya kemudian ….

“Gelegar … duar ….” Suara petir menggelegar beberapa kali seakan menyambut kedatangan kami. Melia langsung tersadar sepenuhnya, matanya memelotot seketika. Dengan bergandengan kami keluar rumah untuk mengetahui yang terjadi. Ketika sampai di jalan, ternyata sudah ada beberapa tetangga lain yang berkerumun. Namun, tidak satu pun keluarga Pak Sidik yang membuka pintu. Padahal semua lampu rumah menyala terang, dan mobil terparkir di garasi pertanda bahwa keluarga itu berada di rumah.

“Ada apa, Mas?” tanya Melia kepada pemuda yang memukul pintu pagar tadi.

“Ini Mbak Murni perutnya sakit, sepertinya ada masalah dengan kandungannya. Mas Putra masih dinas. Aku mau minta tolong Pak Sidik mengantar ke rumah sakit, tetapi sudah dipanggil beberapa kali tidak ada jawaban. Padahal tetangga yang di ujung jalan saja mendengarnya,” ujar pemuda tersebut dengan gemetar menahan kesal dan panik.

“Ya Allah, Mbak Murni.” Melia menarik tanganku dan kami masuk ke rumah Mbak Murni. Rumah yang berada persis di sebelah kanan rumah Melia. Suaminya seorang TNI dan sedang ditugaskan di perbatasan Papua. Di rumah tersebut hanya ada Mbak Murni dan pemuda yang mengaku sebagai adik kandungnya. Tanpa permisi kami langsung masuk mencari suara rintihan yang terdengar sayup. Di atas tempat tidur Mbak Murni mengerang menahan sakit.

“Mbak, belum waktunya melahirkan kan?” tanya Melia.

“Belum Mel, baru delapan bulan. Tapi sepertinya plasenta previa marginalis. Mbak sudah dua kali dilakukan kuretase karena keguguran, mungkin ini imbasnya,” ujar Mbak Murni terengah-engah. “Tolong apa pun caranya bawa Mbak ke rumah sakit,” pintanya kemudian.

Aku membantu adik Mbak Murni mempersiapkan keperluan untuk ke rumah sakit, sedangkan Melia sibuk menelepon beberapa temannya yang mempunyai kendaraan.

“Bagaimana Melia, ada yang bisa membantu?” tanyaku.

“Sialan! Pada ke mana hati nurani mereka, sih. Aku menelepon tiga orang, satu orang tidak bisa dengan alasan masih di Malang, satu orang lagi tidak bisa karena pagi ini akan berangkat ke Surabaya--dia bekerja di Surabaya dan tiap Minggu pulang.”

“Terus yang satunya lagi, tidak bisa juga,” cercaku ikut geram.

“Iya, mobilnya tidak ada di rumah. Lagi disewa orang,” ucap Melia gegeretan.

“Kalau begitu langsung telepon ambulans saja.” Aku mencoba memberikan solusi, mengingat kondisi Mbak Murni yang sudah meremas sprai berkali-kali untuk menahan sakit.

Tidak menunggu terlalu lama akhirnya ambulans datang, dan membawa Mbak Murni ke rumah sakit. Saat kami baru sampai di teras rumah, “Breeesss … duaaarr ….” Hujan dan guntur datang bersamaan. Namun, beberapa detik kemudian kembali terdengar, “Duar … duar … bruk … brak.” Kami berpandangan, berbalik badan, kemudian mendongak ke atas.

“Pramesti, jangan-jangan Pak Sidik ….”



Bersambung ….
#30DWC #30DWCJilid48 #Day18
@fighter30dwc

Komentar